ZAKAT DAN KEMISKINAN

Bismillahirrohmanirrohim
Walau Idul Fitri telah hadir, namun membahas persoalan Zakat masih relevan. Masalah kemiskinan merupakan persoalan yang seolah tidak terselesaikan di negara kita, bahkan dari tahun ke tahun berbagai masalah yang berkaitan dengan rendahnya tarif hidup masyarakat ini terus meningkat.

Kondisi ini semakin diperburuk dengan terus meningkatnya harga bahan pokok sementara pendapatan tidak mengalami peningkatan berarti. Sekalipun release dari DepKeu tahun 2009 menunjukkan adanya penurunan angka kemiskinan.

Tahun 2007 sebesar 17,75% dan tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 15,4%, namun fenomena ketidakberdayaan masyarakat seperti kasus gizi buruk, putus sekolah, banyaknya pengemis, membengkaknya pengangguran terus terjadi.

Pemberantasan kemiskinan harus menjadi agenda bersama pemerintah dan masyarakat, khususnya umat Islam dapat berperan aktif dalam pemberantasan kemiskinan. Salah satu cara untuk memerangi kemiskinan adalah dengan memberdayakan zakat. Sebagai salah satu kewajiban umat Islam, zakat potensial sebagai sumber pemberdayaan.

Zakat memiliki kesamaan tujuan dengan MDGs (Millennium Development Goals) dan GCAP (Global Call Against Poverty). Hal itu merupakan bukti universalitas nilai Islam. Perlawanan zakat terhadap realisasi mekanisme pemungutan pajak yang tidak menjunjung keadilan dan tidak memihak pada penduduk miskin secara tidak langsung diterjemahkan dalam gerakan GCAP.

Potensi zakat di Indonesia sangat besar mengingat lebih dari 85% penduduk adalah muslim. Menurut penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy), potensi zakat di Indonesia berkisar Rp 19– 20 triliun per-tahun.

Sebuah modal yang cukup bagi pembangunan masyarakat dan jumlah itu akan semakin besar seiring meningkatnya kesadaran umat Islam tentang zakat. Apa lagi pemerintah juga sudah menetapkan  slogan  ‘Menuju Indonesia Sadar Zakat’ pada tahun 2008.

Pemberdayaan potensi zakat sangat tergantung berbagai hal, selain potensi nominalnya, tentu keberadaan lembaga zakat yang mengelolanya. Secara yuridis formal keberadaan zakat sudah diatur dalam UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Lembaga pengelola zakat saat ini tidak hanya dimonopoli oleh BAZ (oleh negara) tetapi juga dikelola secara swadaya masyarakat.

Yang perlu menjadi perhatian bagi lembaga pengelola amil zakat adalah untuk mengatasi kemiskinan umat Islam dan WNI pada umumnya. Pengelolaan ini penting agar zakat tidak hanya sekadar menjadi langkah penghimpunan dana namun sasaran penyalurannya juga harus lebih efektif.

Untuk meningkatkan daya guna zakat dalam mengurangi kemiskinan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, melakukan pengelolaan zakat secara profesional dan akuntabel sehingga akan meningkatkan kepercayaan wajib zakat bahwa dana yang mereka salurkan akan sampai kepada yang berhak. Hal ini dalam jangka panjang akan semakin meningkatkan realisasi penerimaan zakat.

Kedua, untuk meningkatkan realisasi penerimaan zakat diperlukan stimulan terhadap para pembayar zakat berupa kompensasi pajak secara langsung. Penerapan zakat sebagai pengurang pajak selama ini hanya pada tataran zakat itu sebagai biaya pengurang penghasilan.

Pengaruhnya tentu tidak besar bagi pembayar pajak yang juga merupakan pembayar zakat karena tidak dikreditkan langsung pada pajak terutang. Hal ini akan lebih efektif jika zakat tersebut dapat dikreditkan langsung ke pajak penghasilan.

Ketiga, sasaran diutamakan kepada mustahik (yang berhak menerima zakat) untuk meningkatkan kemandirian ekonomi, misalnya untuk pendidikan, pelatihan dan kemampuan berwirausaha sehingga terjadi peningkatan kemampuan ekonomi jangka panjang. Selain perlu adanya jaringan diantara penerima zakat. Jaringan ini sangat penting untuk proses pembinaan dan evaluasi keberhasilan para penerima zakat.

Keempat, mengoptimalkan peran pemerintah yang telah melibatkan diri dalam pengelolaan zakat melalui Badan Amil Zakat (BAZ) di berbagai tingkat dari Desa, kecamatan hingga nasional. Namun belum memiliki instrumen dalam anggaran untuk memasukkan zakat dalam salah satu penerimaan pemerintah, di pusat dan daerah sehingga belum ada mekanisme politik dan hukum untuk penyalurannya secara nasional.

Pemberlakuan zakat penghasilan sebagai pengurang penghasilan kena pajak jelas akan berpengaruh langsung terhadap penerimaan pemerintah dari sektor pajak. Semakin banyak umat Islam yang membayar zakat akan mengakibatkan semakin banyaknya pengurang penghasilan kena pajak.

Sehingga jika penghasilan kena pajak menjadi kecil dengan sendirinya pajak penghasilan yang diterima negara juga mengecil. Padahal pada

Ini merupakan dissinergi pajak dan zakat dalam jangka pendek sekadar dilihat dari sudut pandang penerimaan negara. Dan inilah agaknya, yang menyebabkan pemerintah gamang dan ragu-ragu dalam pengelolaan zakat. Karena khawatir target penerimaan dari sektor pajak, termasuk pajak penghasilan akan terganggu. (FatchurR; bahan dari JS  Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE-UII).

Tag:

Tinggalkan komentar