LAGI IBADAH HAJI-1

Bismillahirrohmanirrohim
Jutaan manusia muslim, berkumpul di wilayah kota suci Mekkah. Mereka datang memenuhi panggilan Allah melaksanakan ibadah haji. Mereka berpakaian putih, datang dari segenap pelosok dunia, berbeda warna kulitnya, bahasanya, kebangsaannya dan status sosialnya (QS. Al-Haj,22:27).

Sejak meninggalkan tanah airnya, segala atribut keduniaan mereka tinggalkan. Atribut berupa pakaian kedinasan, bintang kehormatan, gelar kesarjanaan dan sebagainya. Di sana tak ada lagi perbedaan jenis, pangkat, suku atau ststus sosial.

Yang ada hanya komunal kebersamaan. Setiap orang diantara mereka dipandang sama. Suasana klimaks dan puncak pelaksanaan ritual dan seremonial ibadah haji, adalah tanggal 9 Dzul-Hijjah, ketika mereka melakukan wukuf di padang Arafah. Tanpa wukuf di Arafah ini, seseorang tidak dianggap sah  hajinya. Rasulullah dalam sabdanya : “(Ibadah) haji ini adalah wukuf di Arafah”

Suasana klimaks selanjutnya ialah pada tanggal 10 – 13 Dzul-Hijjah, yakni ketika mereka mabit di Muzdalifah, melontar jumrah di Mina, dan melaksanakan thawaf ifhadah dan sa’i di Masjidil Haram  Mekkah.

Pakaian saat wukuf di Arafah dan melempar jumrah Aqabah di Mina, hanyalah kain ihram, yakni dua helai kain putih yang tak berjahit yang satu helai diselendangkan di bahu sebelah kiri, dan yang satu lagi dililitkan dipinggang sebagai sarung.

Pakaian yang mereka bawa dari tanah air diganti dan dilepas, karena umumnya pakaian mewarnai watak manusia. Pakaian dapat melambangkan pola, pangkat, status dan perbedaan tertentu. Pakaian telah menciptakan batas palsu yang menyebabkan timbulnya perbedaan dan perpecahan.

Dari perpecahan ini lahirlah diskriminasi, dan berlanjut muncul konsep aku bukan lagi kita. Aku dipergunakan dalam konteks seperti suku-ku, golongan-ku, kedudukan-ku, keluarga-ku, kelompok-ku. Aku berbeda dengan kau, aku lebih super, lebih hebat. Semuanya adalah aku sebagai individu yang sombong, congkak, takabur.

Dalam konteks inilah, maka setiap pelaku ibadah haji ini, sewaktu melaksanakan prosesi haji harus melepaskan pakaian kotor mereka, yakni pakaian : Kesombongan, kekejaman, penindasan, penipuan, dan kelicikan, yang semuanya melambangkan watak dan karakter mereka.

Dan kini yang harus mereka pakai hanyalah kain ihram, berwarna putih yang melambangkan kesucian dalam rangka melanjutkan perjalanan menuju Allah, mencari makna hidup untuk menjadi manusia seutuhnya.
(FR; bahan dari H. Abdullah Faqih.http://centrin21.tripod.com/DIMENSI_KEIKHLASAN.htm

Tag:

Tinggalkan komentar